Malam hari saat sekeluarga bersantai, si bungsu menghampiri ibunya dengan gontai dan berkata, "Bu, tadi di sekolah aku di panggil oleh pak guru ke ruangannya. Gara-garanya begini bu. Ibu jangan marah dulu ya. Tadi ada teman cewek menangis gara-gara si Toni, temen yang sering kemari itu loh Bu, Ibu tau kan? Dia melecehkan cewek itu dengan kata-kata kotor, ceweknya nangis lapor ke guru, trus Toni dipanggil ke ruang guru. Yang hebatnya Bu, Toni bilang ke pak guru kalau aku yang ngajarin dia ngomong kotor. Aduh bu, dia benar-benar keterlaluan. Memfitnah itu namanya. Ibu nggak percaya kan kalau aku ngajarin Toni begitu? Suer Bu, aku nggak pernah begitu ke dia! Keluar dari ruang guru, di depan kelas Toni nangis-nangis Bu, nyalahin aku katanya gara-gara aku dia kena hukuman" dengan nada berapi-api si bungsu melepas uneg-unegnya.
Keesokan harinya dan beberapa hari berikutnya, kasus masih berlanjut. Beberapa teman menjauhi si bungsu karena justru dia yang dituduh sebagai biang kerok, penjahat lah, penyebar fitnah, dan lain-lain. Beberapa teman pun menyalahkan si bungsu bahkan menyuruhnya minta maaf kepada Toni.
"Sungguh tidak adil ya Bu, aku yang nggak salah, kok aku yang disuruh minta maaf?" kata si bungsu mengeluh ke ibunya. Ayahnya yang diam-diam mengikuti kisah si anak, memutuskan saatnya berbicara. "Nak, kalau Kamu merasa benar, tetap pegang kebenaranmu itu. Ayah yakin, Sikap teman-temanmu itu hanyalah sementara, nanti mereka pasti tau siapa yang punya kualitas yang baik. Temanmu Toni, berbuat salah. Tidak ada salahnya Kamu memaafkan dia kan?"
"Dia sudah begitu menyakiti aku, apa untungnya memaafkan dia yah?" tanya si bungsu penasaran. "Loh, apa ruginya memaafkan dia?" jawab ayah sambil tersenyum. "Coba perhatikan. Sejak kejadian itu, setiap hari kamu ngomel melulu, sebel, marah-marah, tidak konsen belajar, tidak happy. Nah, Apa untungnya Kamu seperti itu? Dengan memaafkan Toni dan kembali bersikaplah seperti dulu lagi. Orang serumah happy, Kamu juga kembali happy, nah nggak rugi kan memaafkan itu? Damai dan nyaman semuanya."
Pembaca yang budiman,
Kesalahan orang kepada kita, apapun bentuknya, jika terus kita simpan dan pikirkan, maka hati ini akan terasa panas adanya alias badmood. Konsen kita di pekerjaan pun pasti akan terganggu. Tiba-tiba kita menjadi mudah jengkel dan marah-marah terhadap hal lain yang mungkin tidak terkait sama sekali.
Puasa di bulan Ramadhan ini, sungguh saat tepat untuk mengingatkan kita, agar kita mampu menahan godanya nafsu, terutama amarah dan kebencian. Mari berlatih untuk memaafkan, mengampuni. Bukan sekedar lipservice, tetapi ikhlas dari lubuk hati. Agar Idul Fitri nanti menjadi momen kemenangan kita di mata Illahi. Amin.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan